STOP DREAMING START ACTION, mengandung makna semangat, perlawanan dan ajakan untuk HENTIKAN BERMIMPI MULAI TINDAKAN. Sebuah perlawanan bagi sebuah kondisi yang statis menuju ke kondisi yang bersifat dinamis dan berkemanfaatan.
Kita memiliki petuah agung yang diwariskan para leluhur dan pejuang-pejuang kita saat meraih kemerdekaan demi harkat dan martabat bangsa ini dengan semboyan rawe-rawe rantas malang-malang putungyang dapat dimaknai dengan arti menghadapi dan melawan segala halangan dan rintangan menjadi sebuah tantangan dengan penuh totalitas meraih kemenangan atau hancur lebur sekalian.
STOP DREAMING START ACTION, merupakan sebuah sikap pergerakan yang menjadi bagian dalam rangka merevolusi diri meraih sukses merdeka dari apa yang dicita-citakan dalam kehidupan. Termaktub sebuah ajakan, semangat dan perlawanan terhadap kungkungan mimpi, kemalasan, takut gagal, kemiskinan, kebodohan dan pembodohan, degradasi moral dan tanggungjawab, perusakan lingkungan hidup maupun sosial, ketidakpedulian dan sebagainya. Be positive thinking now !!!..
Petuah agung rawe-rawe rantas malang-malang putung menegaskan kepada kita bahwa tantangan dalam bentuk rintangan dan halangan merupakan sesuatu yang selalu ada dimanapun, dalam bentuk apapun dan kapanpun, hal ini bersifat natural adanya dalam kehidupan manusia. Semua yang ada tersebut bukan untuk menjadikan kita berhenti dan mundur, melainkan bagaimana kita secara cerdas mampu menempatkan diri (empan papan-jawa) dalam menghadapi situasi tersebut dan menaklukannya. Dalam hal ini jelas bahwa sikap STOP DREAMING START ACTION layak dijadikan sebuah pilihan agar dapat terejawantah dalam aktualisasi real. Meraih Sukses Merdeka merupakan Aminnya belajar dan pembelajaran yang tiada henti.
STOP DREAMING START ACTION dengan menghadapi segala macam bentuk tantangan, melawan rintangan dan menaklukkan halangan bukanlah sekedar kata-kata motivasi. Pada kondisi tertentu hal ini wajib dilakukan, yaitu pada saat kita melakukan sesuatu yang luhur yang sangat penting bagi kehidupan kita. Menjaga dan mempertahankan kehormatan serta martabat keluarga, bangsa dan negara harus menempatkan rawe-rawe rantas malang-malang putung sebagai sesuatu yang bersifat wajib. Martabat dan kehormatan tidak akan tetap tegak berdiri jika masih hidup dalam kungkungan mimpi tanpa aktualisasi real, hentikan mimpi mulai bertindak. Sebab hanya tindakan yang akan memaknai martabat dan kehormatan, baik di negri sendiri maupun di mata negri-negri lain di mata dunia.
STOP DREAMING START ACTION, menempatkan diri kita pada point of no return, titik dimana kita tidak boleh mundur ataupun berbalik arah. Apapun alasannya, hentikan mimpi mulai tindakan, lawan rintangan, taklukan halangan, menangkan pertarungan, jadilah pemenang... Satu hal yang perlu diingat bahwa satu tindakan memberikan kekuatan pada tindakan lainnya, jangan ragu untuk bertindak, stop dreaming start action sekarang juga, inilah yang disebut sebagai The Power of Action. Sekali lagi jangan hanya jadi penonton, jangan hanya jadi pemimpi, jadilah pemain dan pemenang. Lakukan hal ini dalam segala bidang kehidupan, terutama potensi dan keahlian yang anda miliki (arti positif), apakah itu bisnis, pendidikan, organisasi dan lain sebagainya, sekali lagi STOP DREAMING START ACTION.
Ndengaren kok dho rame-rame, arep dho nengendhi le (tumben kok pada rame pada mau kemana nak)... simbah bertanya pada anak-anak kecil perdikan yang pagi hari itu terlihat berbondong-bondong, badhe teng kali padhos ulam mbah (mau kesungai cari ikan mbah)... sahut salah satu anak-anak itu. Yo dho seng ati-ati yo, ojo dolanan nenggon seng jero, mbebayani (ya hati-hati jangan main di tempat yang dalam berbahaya)... kalau bercanda yang empan papan ya... nggih mbah (ya mbah)... serempak anak-anak itu menyahut. Sepintas simbah terdiam seakan teringat masa kecilnya dulu juga sering mencari ikan bersama-sama di sungai yang membelah perdikan, sungai yang menghidupi perdikan sampai sekarang.
Sesaat simbah tampak berkemas, memasukkan tembakau dan kelengkapannya ke dalam slepen (wadah tembakau yang terbuat dari anyaman rumput sebesar dompet) dan mengambil caping teman setia simbah. Badhe teng pundhi mbah (mau kemana mbah) tanya cucunya yang kebetulan berada di ruangan itu, arep ndeloke bocah-bocah seng dho nggolek iwak neng kali mburi kono, kuatir ndak dho suloyo le dho dolanan (mau melihat anak-anak yang pada mencari ikan di sungai belakang itu, kuatir pada ceroboh kalau sudah bermain).
Di atas sebuah batu besar yang agak ceper simbah duduk dengan santai, sambil melihat polah tingkah anak-anak tangan melinting tembakau favoritnya. Tahu dilihati oleh simbah anak-anak justru semakin senang dan bersemangat, mereka merasa ada yang menjaga sehingga merasa aman. Simbah memang juga terkenal dekat dengan anak-anak kecil di perdikan, sehingga sudah dianggap seperti simbah mereka sendiri oleh anak-anak.
Horee...aku dapat satu teriak salah satu anak sambil memperlihatkan ikannya, melihat temannya ada yang dapat seakan memacu anak-anak lainnya untuk semakin bersemangat mencari bagaikan lomba tanpa panitia. Dasar anak-anak bermain sambil bercanda, gemuruh tawa dan polah tingkah terkadang lucu. Kadang ada yang usil, bukannya ikut mencari ikan tetapi justru menarik celana temannya sampai hampir lepas. Gelak tawa dan canda sangat riuh pagi itu.
Simbah yang memperhatikan tampak sesekali tertawa menyaksikan. Le di sebelah batu yang agak ngedung itu lho le, coba kamu pasangi perangkapnya, yang mana mbah...itu lho yang dipojokan, deket belokan itu ya mbah...iya sahut simbah membantu anak-anak agar dapat ikan. Maklum simbah sangat pengalaman dalam urusan ini. Tidak begitu lama berselang salah satu anak berteriak, dapat mbah...aku dapat mbah... terlihat senang mendapatkan hasil sambil menunjukkannya ke simbah, gede ya mbah.... sahut anak itu bangga. Pinter koe le... ayo meneh... seakan menyemangati anak-anak, horee... aku juga dapat mbah... yo pinter...pinter... ayo cari lagi, cari di air yang agak tenang di balik batu itu... biasanya ikannya pada di situ le... lagi-lagi simbah membantu anak-anak dengan pengalamannya...
Anak-anak perdikan dengan dunianya yang dekat dan bersahabat dengan alam di sekitar mereka, menyatu dengan tanah yang menghidupi mereka, sebuah potret yang sangat bertolak belakang dengan kehidupan anak-anak di perkotaan. Iwak’e dileboke kepis le, selehke neng banyu neng ojo nganti kelelep ndak iwak’e ucul (ikannya dimasukkan wadah le, taruh di air tapi jangan sampai tenggelam nanti ikannya lepas)... beres mbahhhh.... sahut anak-anak gembira sambil tetap dengan aktifitas mereka. Ada yang bertugas menggiring, ada yang bertugas menangkap, ada yang bertugas jebar-jebur agar ikannya pindah ke arah yang diinginkan, semu terlihat kompak... tidak ada yang merasa lebih berjasa dibandingkan yang lain, jika ada yang dapat yang lain seakan mengamini dalam kegembiraan, kegembiraan milik mereka bersama betapa sangat bertolak belakang perilaku anak-anak tersebut dengan segelintir oknum pejabat yang sering merasa diri paling dan lebih berjasa dibandingkan lainnya. Seharusnya malu jika berkaca pada anak-anak perdikan itu, tapi yang namanya malu sudah tidak ada lagi dalam kamus kehidupan bagi segelintir oknum pejabat, sebab telah digadaikan bersama harga diri.
Serius amat tho mbah...mendadak bedjo sudah duduk di samping simbah... ooo kamu tho djo, itu lho simbah lagi memperhatikan anak-anak yang nyari ikan. Coba kamu lihat djo, disitu ada pelajaran yang bagus bisa diambil dari polah tingkah anak-anak kita itu. Sesaat bedjo memperhatikan dengan seksama... iya ya mbah terlihat kompak seperti sebuah tim, masing-masing menempatkan dirinya sesuai fungsi meski dalam suasana bermain ya mbah... bener djo khan serasi tho?... (bedjo salah satu pemuda perdikan yang ngangsu ilmu di kota alias mahasiswa). Jika kamu perhatikan lagi dengan teliti ada yang lebih lagi dari sekedar kompak djo, coba perhatikan lagi... tampak bedjo memperhatikan sambil mengernyitkan dahi tanda berpikir keras, apa ya yang kira-kira terlihat oleh simbah tapi tidak terlihat olehnya. Tampaknya bedjo harus menyerah dan mengakui kejelian simbah dan diwujudkan dalam pertanyaan, apa ya mbah kok nggak ada?...
He...he...he... berarti kamu perlu mengasah kepekaan dan kejelianmu lagi dalam mengamati suatu keadaan djo. Coba lihat, ada yang menggiring, ada yang menangkap, ada yang membuat gaduh agar ikan pindah ke arah yang diinginkan dan sebaginya. Coba lihat mereka dalam menempatkan diri dan waktu melakukan, seperti nyambung satu sama lain dan tepat waktunya. Apa yang dilakukan sesuai dengan waktu dan tempatnya, itu yang biasa disebut “empan papan” djo... wach iya mbah... bener...bener... bedjo terlihat senang sambil meangkupkan telapak tangan seperti layaknya orang menyembah... ngaku kalah mbah... lah kamu itu ngapain tho kok kayak orang nyembah gitu, simbah protes...lho itu salah satu bentuk wujud pengakuanku mbah... helehh... kaya apa aja kamu ini, simbah protes lagi.... he...he...he... bedjo malah tertawa melihat sikap simbah.
Simbah punya cerita yang berkaitan dengan empan papan itu djo, wach asyik donk mbah, bagaimana ceritanya mbah, jadi penasaran untuk mempelajarinya mbah... Konon dulu ada sebuah padepokan, tempat orang-orang menimba ilmu, baik tentang ilmu kanuragan (bela diri), ilmu pengobatan maupun ilmu-ilmu tentang pengetahuan hakekat dan makna kehidupan. Dipimpin oleh seorang pendhito atau guru yang wawasan dan pengetahuannya bagai samudra, saking dalam dan luasnya.
Suatu saat salah seorang pemuda yang menjadi muridnya mendatangi guru tersebut dan bertanya, “Guru, mengapa orang seperti guru mesti berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana. Bukankah di masa seperti ini berpakaian sebaik-baiknya amat perlu, bukan hanya untuk penampilan guna menunjukkan status juga untuk banyak tujuan lain, saya kok jadi tidak mengerti”
Sambil tersenyum guru itu melepaskan salah satu cincin yang dikenakan dan berkata, “Akan kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambil cincin ini dan bawa ke pasar di seberang sana. Bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas?.”
Melihat cincin sang guru yang kotor, murid tadi merasa ragu, “Satu keping emas?. Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu guru.” “Mengapa tidak dicoba dulu, siapa tahu kamu berhasil.”
Murid itu akhirnya bergegas ke pasar, menawarkan cincin itu kepara pedagang yang ada di pasar, mulai dari pedagang kain, sayur, penjual daging dan ikan, dan yang lainnya. Ternyata, tak seorang pun berani membeli seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak saja, tentu saja murid itu tak berani menjualnya. Akhirnya ia kembali ke padepokan dan melapor, “Guru, tak seorang pun berani menawar lebih dari satu keping perak.” Sambil tetap tersenyum arif sang guru berkata, “Sekarang pergilah kamu ke toko emas di belakang jalan ini,perlihatkan kepada pemiliknya, jangan buka harga, dengarkan saja bagaimana ia memberikan penilaian.”
Murid itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud dan menawarkan cincin yang dibawanya. Betapa kaget murid itu mendengar harga yang ditawarkan oleh pemilik toko emas tersebut. Bergegas murid tersebut untuk menemui gurunya dan berkata “Guru, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas”. Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar.”
Sambil tersenyum sang guru berujar kepada muridnya, seseorang tak bisa dinilai hanya dari pakaiannya. Cuma para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar seperti tadi yang menilai demikian. Namun tidak bagi pedagang emas. Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat ke kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu butuh proses, tidak bisa menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas.
Bedjo terlihat sangat serius mendengarkan sambil sesekalimengangguk tanda memahami yang disampaikan simbah. Semua jika dilakukan secara empan papan akan memberikan nilai yang sebenarnya. Berpikir, berkata, berbuat dan bertindak serta menempatkan sesuatu sesuai tempatnya, dengan demikian memaknainya secara benar. Menilai tidak asal menilai namun memahami kedalaman yang dinilai, tidak hanya dari kulit luarnya saja. Khan sering tho djo apa yang terlihat tidak mencerminkan yang sebenarnya, iya tho... nggih leres mbah (iya benar mbah). Banyak tho terjadi bahwa tampilan luar itu menipu... lha wong jaman sekarang ini banyak yang berperilaku seperti aktor atau aktris jee... Kebiasaan menilai hanya dengan melihat dari kulit luarnya saja akan menyebabkan seringkali terjadi kekeliruan, disangka emas ternyata loyang, dianggap loyang ternyata emas.
Opo le... mendadak simbah menyahut, ikannya dah banyak mbah, kepisnya nggak cukup lagi... lha kalau gitu dipilihi aja le, yang besar-besar saja dibawa, yang kecil-kecil kembalikan kesungai lagi, jadi sungainya tetap ada ikannya le, khan pada seneng tho kalau sungainya banyak ikannya. Yo djo bantuin anak-anak itu memilih ikan yang akan dibawa pulang. Hari ini ada dua pelajaran yang simbah tularkan pada anak-anak dan bedjo. Berperilaku dan berpikir bijak serta kearifan tradisional menjaga kelestarian dan keharmonisan alam, bagian dari berpikir dan bertindak dalam memaknai empan papan.
Mbah niki wedang teh paitipun, tasih anget monggo dipun unjuk... (mbah ini minuman teh paitnya, masih hangat silahkan diminum), yo ngger (panggilan kesayangan untuk anak/cucu laki-laki jawa) selehke neng cedak capinge simbah kono ben rodho adhem ndisik (taruh dekat capingnya simbah disitu biar agak dingin dulu). Simbah terlihat mengipas-ngipaskan kaosnya sambil istirahat di bawah pohon nagka samping rumah. Ngger opo ra latihan poli (volley), mboten mbah, rencang-rencang katah ingkang sami dereng wangsul (nggak mbah, teman-teman banyak yang belum pada pulang), ooo...(simbah menyahut).
Ngger selama ini kira-kira kamu sadar nggak kalau manusia itu diberi anugrah yang sangat berharga oleh Gusti Allah, waah apa itu mbah yang dimaksud simbah, si cucu balik bertanya sambil beringsut duduk mendekati simbah. Penyakitmu kui lho ngger (penyakitmu itu lho ngger) kalau ditanya kok malah mbales nanya, he...he...he... lha daripada nanti dijawab ternyata tidak sesuai dengan yang simbah maksud khan malah jadi waton njeplak tho mbah (asal ngomong) sahut si cucu. He...he...he...bener juga yo ngger, tapi khan paling tidak mencoba berpikir dulu, jangan terus langsung nanya tanpa mikir dulu, karena itu menyia-nyiakan anugrah yang simbah maksud diantaranya.
Sejak dilahirkan manusia sudah diberi anugrah sangat berharga oleh Gusti Allah, diantaranya seperti otak di dalam tengkorak kepala kita. Sehingga tidak peduli semiskin apapun, karena tidak akan ada satu orang pun yang bisa mencuri otak kita dan pikiran kita. Apa yang kita pikirkan dalam otak kita jauh lebih berharga dari pada emas dan perhiasan bener ra ngger ... inggih mbah leres (benar)...”wach simbah belum dengar nich otaknya Jacko diambil & diedel-edel untuk diteliti, tapi ini diluar konteks maksud simbah, bathin si cucu”.
Diberi anugrah sepasang mata di wajah, agar kita sadar tidak boleh selalu melihat ke belakang, tetapi pandanglah kedepan, pandanglah masa depan. Meski demikian tidak boleh begitu saja melupakan apa yang terjadi di masa lalu sebagai bahan evaluasi untuk perbaikan langkah kedepan.
Diberi anugrah sepasang telinga di kanan kiri, supaya kita bisa mendengarkan semuanya dari dua buah sisi, untuk keseimbangan. Agar bisa mengumpulkan pujian dan kritik dan menyeleksi mana yang benar dan mana yang salah, untuk digunakan sebagai bekal dalam berpikir dan bertindak, ojo gelem pujiane ra gelem kritikane (jangan Cuma mau pujiannya tidak mau kritikannya), itu namanya adigang adigung, dumeh.....
Diberi anugrah sebuah mulut, artinya harus lebih mendengar dan melihat lebih banyak daripada berbicara. Berhati-hatilah dengan apa yang kita ucapkan, ucapan yang menyakitkan sangat sulit ditarik kembali. Bicara yang perlu tapi lihat dan dengarlah sebanyak-banyaknya, jangan asal bicara karena itu sama saja istilahnya dengan waton njeplak kakehan contong (asal njeplak kebanyakan omong). Membiasakan diri berbicara yang baik-baik akan membuahkan kedamaian bagi siapa saja.
Diberi anugrah satu hati, mengingatkan kita pada penghargaan, pemberian cinta dan ketulusan, diharapkan berasal dan keluar dari hati yang paling dalam tersebut. Belajar untuk mencintai dan menikmati betapa kita dicintai tapi jangan pernah mengharapkan orang lain untuk mencintai kita seperti kita mencintai dia, sebab jika demikian kamu akan menjadikan hal tersebut ibarat dagang yang menghitung untung rugi, lha kalau sudah begitu tanpa makna namanya ngger. Mencintai dengan tulus tanpa pamrih balasan apapun itulah makna dan hakekat cinta itu. Berilah cinta tanpa meminta balasan, niscaya akan menemukan cinta yang jauh lebih indah, sebab cinta memiliki bahasa dan pergerakannya sendiri yang hanya dapat dipahami oleh cinta itu sendiri.
Oleh sebab itu, jagalah anugrah yang diberikan itu agar tetap bening dan bermakna seperti adanya. Sering dan banyak orang baik secara sadar maupun tidak sadar mengotori anugrah itu, dengan alasan ataupun dalih penghargaan, kesuksesan, kehormatan dan sebagainya. Padahal dalam kehidupan ini banyak contoh mudah bisa dilihat tanpa mengotori anugrah tersebut diantaranya :
Memperoleh penghargaan sangat mudah, cukup memelihara kebiasaan yang baik. Menjadi orang yang berhasil sangat mudah, cukup punya inisiatif yang baik. Memiliki kecantikan sangatlah mudah, hanya perlu untuk tidak marah-marah (bagi perempuan khususnya). Menuju keberhasilan sangat gampang, cukup melakukan segala sesuatunya setahap demi setahap secara berurutan, jangan meloncat-loncat. Sangat mudah menggenggam nasib kita sendiri, cukup hindari kemalasan saja. Sangat mudah untuk memperoleh kegembiraan, cukup tidak serakah dan memiliki secukupnya saja.
Ngger kalau manusia itu hidup dengan menjaga hati, otak, mata, telinga dan mulut sesuai dengan makna dan hakekat yang Gusti Allah berikan, nggak akan terjadi yang namanya TKW ditelantarkan sampai hidup di kolong jembatan di negri orang, ataupun disiksa oleh manusia yang berstatus majikan, kasak-kusuk dan intrik mengelola kawulo negri dan sebagainya. Apalagi jika di tambah Iman yang baik, bakalan setan nggak punya bolo di dunia ngger....
Wach mbah... kalau semua orang sudah seperti yang simbah maksud, lha terus bolone iblis, setan lan seceesnya siapa mbah?... lha terus neraka statusnya dipailit atau bangkrut mbah, he...he...he... Ternyata pikiranmu mletik juga ngger, memang tidak ada yang sempurna di dunia ini, tapi paling tidak berusaha untuk tetap memegang makna dan hakekat anugrah itu, dengan demikian sudah sangat berarti bagi kehidupan ini. Lha perkara bolonya iblis dan setan wong banyak manusia justru lebih memilih jadi bolonya je... dibandingkan jadi anaknya Gusti Allah, buktinya lihat tuch banyak orang yang lebih memilih jalan pintas untuk meraih tujuannya, tidak peduli dengan nilai-nilai caranya, ya tho?...
Di dunia ini seabrek-abrek orang pinter ngger, namun sangat minim orang mengerti. Lha orang pinter itu sukanya minteri dan ngapusi jee... Negrine kancamu Rekiblik Etekewer itu bisa dijadikan koco benggolo, nggak usah jauh-jauh. Dah yo waktunya makan, nanti dicariin sama simbah putri, kalau sudah makan dilanjut lagi obrolannya, monggo mbah nderekaken....