Sejak pagi tadi simbah sudah sibuk merawat perkutut peliharaannya. Le…simbah bantuin merawat perkututnya…lha monggo mbah, perkutut yang sudah simbah mandikan makan dan minumnya ditambah, kalau sudah dijemur dan dikerek di tempatnya masing-masing, lhak yo apal tho nggon-nggonane?...ojo keliru …(hapal khan tempat-tempatnya?...jangan keliru). Nggih mbah…lha ya mesti hapal dan paham tho mbah, setiap hari melihat lingkungan sekitar jhee….Ya sudah simbah nglanjutin mandikan yang lainnya ya…., monggo mbah (silahkan mbah)….simbah bagian mandikan saya bagian nambahin makanan minuman dan ngerek (ngerek=menaikkan diatas tiang seperti mngerek bendera).
Lha ngono kui jenenge kerjasama seng apik tho le…(lha kalau seperti itu khan namanya kerjasama yang baik tho le…). Paham nggak le yang namanya kerjasama…simbah menanyakan ke cucunya sambil tetap beraktifitas, nek
Kerjasama atau timweg koyo istilahmu (kaya istilahmu) itu memiliki makna ibarat satu tubuh, semua bagian tubuh memiliki bentuk dan fungsinya yang saling berbeda namun melengkapi menuju pada satu tujuan, apakah itu keinginan, kehendak dan sebagainya yang berjalan secara serasi dan selaras. Lha kalau salah satu bagian dari tubuh tidak berfungsi maka akan terjadi ketimpangan, akibatnya keserasian dan keselarasan itu akan terganggu. Lha kalau kamu tanyakan mana yang paling penting, ya semuanya sama-sama penting, tidak ada bagian yang lebih penting dari yang lainnya, semua sama-sama penting karena memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing, mana yang paling berjasa...ya semuanya berjasa, sebab itu hasil fungsi kolektif. (wwuuuikkk…nglondho lagi)
Lha iya ya mbah, kalau makna mendasar tersebut dipahami dengan baik oleh setiap orang yang menjalankan tugas khan ya mestinya tidak akan terjadi ujur-ujuran (rebutan) bahwa dirinya yang paling berjasa ya mbah, seperti yang terjadi di Rekiblik Etekewer itu…. Inilah le…ini bukti bahwa kata “tanpa pamrih dan gotong royong” itu sudah tidak lagi ada di kasanah kosa kata mereka, jadinya ya begitu itu…lha ironis lagi kalau sudah sukanya ngaku-ngaku berkat jasa perbuatannya…wach parah lagi itu namanya…. Bukan lagi sebagai pahlawan kesiangan tapi sudah pahlawan kesurupan !!!… (surup=senja, kesurupan=kesetanan).
Perilaku yang demikian itu juga menunjukkan sudah tidak adanya budaya malu, makanya suka mengaku-ngaku dan memperlihatkan jasa, orang yang sudah tidak memegang budaya malu sama saja orang yang sudah menggadaikan harga dirinya dengan murah alias obral. Hal seperti itu sudah jelas-jelas tidak mengikuti perintah Gusti Allah, bukankah Gusti Allah memerintahkan melalui firmanNYA, “..JIKA MEMBERI DENGAN TANGAN KANAN, TANGAN KIRI JANGAN SAMPAI TAHU…” ya kalau mau berbuat baik dan mengabdi ya berbuat baik dan mengabdilah dengan apa adanya, bukan untuk dipertontonkan agar orang-orang pada tahu kalau sedang berbuat baik, jika sudah begitu tidak ada nilainya perbuatan itu di hadapan Gusti Allah.
Coba le kamu bayangkan, Rekiblik Etekewer itu ibarat tubuh manusia, isinya tangan semua atau kaki semua atau mata semua dan sebagainya, apa ya bisa berfungsi dengan baik?...jangankan berfungsi dengan baik, malah nggilani kui…(nakuti itu), lha kalau sudah gitu cocoknya jadikan memedhi sawah aja buat ngusir hama burung he…he…he… Wes yo le ndhang diberesi kabeh…(sudah yo le diberesi semua).. kita sarapan dulu, mbah putri kayanya sudah selesai masaknya…lha monggo mbah….
Meraih Sukses Merdeka
www.bisnis-mesin-uang-internet.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar